Cerita ini nyata terjadi. Dari sebuah kota yang sangat nyaman yang saya diami sekarang, Malang. Sebenarnya sudah lama saya mengetahuinya, hanya saja-entah mengapa-baru terpikir untuk menuliskannya saat ini.
Sepulang gereja tadi pagi, saya betemu dengan kakak-beradik ini. Menerima salam selamat hari minggu dari jemaat gereja, termasuk saya. Si adik membelas jabat tangan sambil tersenyum dengan susah payah kepada setiap orang pagi itu. Dia hanya duduk di sebuah kursi roda reyot, ala kadarnya, namun jadi tempat paling nyaman buat dia. Ya, Si adik ini cacat. Kakinya tidak kuat menopang badannya, tangannya kaku, bicara pun tidak jelas. Penyakit apa itu? Entahlah, saya hanya tahu si adik ini cacat. bukan hanya cacat, sepertinya kemampuan berpikirnya juga lamban. Di belakang kursi roda ala kadarnya itu Sang kakak berdiri dengan percaya diri membalas tiap sapaan jemaat, berbicara pada tiap orang yang menanyakan kesehatannya dan si adik. Sang kakak terus tersenyum. Puji Tuhan, Sang kakak terlahir dengan kondisi sempurna. Pemandangan yang indah di pojok gereja.
Sepasang kakak beradik ini bukan lagi muda. Mungkin usianya sudah 40 tahunan. Uban sudah memenuhi kepala keduanya. Sejak saya pindah ke kota ini sampai sekarang, sampai sekarang saya selalu melihat mereka berdua saja. Kata ibu saya, kedua orang tua mereka memang sudah meninggal. Mereka hanya tinggal berdua, dan hingga di usia matang seperti sekarang. Sang kakak rela tidak menikah untuk menjaga Si Adik yang memang membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Seluruh hasil kerjanya, semua sisa hidupnya dia habiskan bersama Si adik. Padahal, mungkin secara mata lahiriah Si adik tidak dapat membalas semua yang sudah kakaknya lakukan untuk dia. Tapi lihatlah, justru karena Si adik dia menjadi berkat buat orang lain. Keputusannya untuk menghabiskan sisa waktu untuk menjaga adiknya, ketabahannya, bahkan selengkung senyum saat dia berjalan sambil mendorong kursi roda Si adik, menjadi berkat bagi jemaat di gereja kami. Kami mengenalnya sebagai Sang kakak dengan hati yang sungguh besar untuk menerima semua kekurangan adiknya. Sang kakak yang selalu memberi dalam keterbatasan. Sang kakak yang tidak memikirkan kenyamanannya sendiri. Sang kakak yang sungguh-sungguh melayani Tuhan dengan mencintai adiknya seperti Tuhan mencintai manusia.
Bersyukurlah saya yang melihat pemandangan langka ini, cerita yang mungkin hanya ada beberapa saja di dunia ini. Memberi bukan untuk diberi. Mencintai bukan untuk dicintai.