Lagi-lagi Malaysia menyinggung perasaan bangsa Indonesia. Awalnya, dikethui dari sebuah televisi swasta bahwa Malaysia bertindak arogan terhadap tiga petugas kelautan Indonesia. Tingkah menyebalkan negri Jiran itu bukan baru sekali-dua kali, namun sudah berkali-kali. Jika bangsa ini membuka buku catatan sejarah, bisa beberapa kali kita mendapatkan konflik antara dua negara ini (Ind-Mly). Dan sering kali (hampir selalu) yang memulainya adalah malaysia. Indonesia merasa dipermainkan, diijak-injak martabatnya, disepelekan.
Saya yang adalah anak Indonesia asli juga merasa geram dengan negara ini. Beberapa kali saya malah meneriakan “perang!” bagi Malaysia. Namun saya berpikir lagi. Begini, kita (rakyat Indonesia) marah karena dianggap sepele oleh tetangga kita itu. Kita tidak terima martabat kita diinjak-injak, dan kita tidak suka dipermainkan mereka. Tapi disela kemarahan kita yang meledak-ledak itu, pernahkan kita mengkoreksi diri?
Memang sudah setinggi apa harga diri kita hingga kita marah-marah pada bangsa lain yang mengolok-olok kita? Kita selalu ingin dihargai bangsa lain, tapi apakah kita sudah menghargai bangsa kita sendiri? Kalau kita tidak ingin diinjak negara lain, memangnya kita sudah cukup kuat untuk menahan mereka?
Kita demo menentang Malaysia, tidak tanggung-tanggung, kita sampai melempari kantor kedutaan besar Malaysia dengan kotoran. Kita menuduh Malaysia memperlakukan bangsa kita dengan seenaknya. Tapi kita lupa melihat kondisi yang memicu semua kejadian itu. Kalo kata abang Sergap: Ingat, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, tapi juga ada kesempatan! Sebenarnya kita sendiri yang memberi kesempatan pada negara lain untuk memperlakukan kita semena-mena. Dari segi keamanan di perbatasan: dibanding Malaysia, negara kita memang kurang serius menjaga pulau-pulau terluar. Bangsa kita pun lupa membangun pertahanan (baik dari segi politik, ekonomi, dan angkatan bersenjata) di daerah perbatasan. Kelemahan ini yang menjadi celah bagi negera lain untuk mengambil keuntungan dari bangsa kita.
Saya mau menceritakan pengalaman pribadi saya. Teman-temanku setanah air, sejak kecil saya suka sekali menonton tari-tarian daerah (bahkan saya juga belajar menarikannya). Saya suka nonton reog, kuda lumping, ondel-ondel. Saya bisa menari tarian dari jawa tengah, tari bali, jaipongan, tarian dari Kalimantan, bahkan saya pernah menjadi tim penari tarian khas Aceh untuk dibawa saat tampil di balai kota Bogor. Semua itu saya lakukan saat saya masih kecil, terakhir saya menikmati itu semua ketika kelas 6 SD. Beranjak dewasa saya meninggalkannya, malah cenderung lupa. Terlalu asik dengan hiburan baru saya: video game, komik, tarian modern, lagu-lagu R n B, music pop, festifal Band, dll. Saya jadi tidak suka tarian tradisional, karena terkesan kuno. Aneh, begitu saya dewasa saya tidak peduli dengan budaya-budaya negara kita. Hingga akhirnya terjadi keributan antara Indonesia dan Malaysia. Mereka kita tuduh telah mencuri pulau ambalat, rumah gadang, lagu rasa sayange, tarian reog ponogoro, tari bali, batik, dan entah apa lagi. Secara pribadi, apa yang dilakukan Malaysia membuat saya sadar atas ketidakperdulian saya terhadap asset budaya bangsa saya sendiri.
Coba kita ingat-ingat lagi, sebelum Malaysia heboh mengakui batik sebagai bagian kebudayaan mereka, apakah kita pernah bangga memakai batik untuk kegiatan sehari-hari? Saya ingat, batik hanya jadi baju resmi untuk acara-acara tertentu. Eh, sama baju sehari-hari ibu rumah tangga, alias daster! Dulu batik identik dengan orang tua, jadi yang pakai batik itu biasanya hanya orang-orang tua. Tapi ketika Malaysia berusaha mencurinya, bangsa ini baru berinisiatif menjadikan batik sebagai baju nasional. Ada hari batik bagi kantor-kantor, seragam batik di sekolah-sekolah, anak-anak muda juga mulai mengenakan baju batik tanpa ragu. Dari yang tadinya malu memakai batik, jadi mau memakainya. Bahkan batik terus dicari.
Itu hanya satu contoh dari kasus batik, sebenarnya kasus-kasus yang lain pun memiliki pola yang serupa. Kita jadi lebih memperhatikan kekayaan bangsa sendiri setelah bangsa lain (kita tuduh) mencurinya. Seharusnya sebelum bangsa lain lebih tau dan berniat mengambilnya, kita sebagai anak bangsa lebih mengenal budaya kita dan terus melestarikannya (minimal menjaganya untuk tetap ada). Tapi yang terjadi di negeri ini sebaliknya, kita sibuk dengan budaya bangsa lain sampai budaya sendiri kita lupa!
Saya pikir, selain kita mencaci-maki, dan melakukan demo-demo mengecam Malaysia, kita juga harus bertrimakasih pada tetangga kita itu. Kita jadi lebih perduli kekayaan seni dan budaya bangsa ini, dan jiwa nasionalis pada generasi muda bangsa ini mulai tumbuh. Kebiasaan kita, generasi muda bangsa Indonesia: tidak akan bergerak jika tidak ada yang membakar emosi. Stop hidup terlalu santai… kita sudah cukup mendapatkan pelajaran dari kejadian-kejadian masa lalu, karena terlalu santai kita jadi kecolongan.