Selasa, 28 September 2010

Sosis Gulung Tahu


(telah diuji di dapur Bano, enak lhoo..sehat lagi :D )
Bahan:
- 3 buah sosis sapi (dipotong jadi 2)
- 2 kotak tahu (dihancurkan)
- Kubis secukupnya (iris tipis)
- 1 buah cabai merah besar (iris tipis)
- 1 lembar keju, potong kecil-kecil
- 1 butir telur
- Bawang putih, Merica, Pala, dan Garam dihaluskan
- 5 sendok makan Tepung terigu

Cara membuat:
1. Campurkan tahu, kubis, cabai, keju, telur, dan bumbu yang dihaluskan hingga menjadi adonan. Kemudian tambahkan tepung terigu perlahan-lahan pada adonan sambil terus diaduk agar tepung tidak menggumpal.
2. Lilitkan adonan tersebut pada sosis, panaskan minyak goreng, dan masak hingga kecoklatan.

Selamat mencoba (untuk 6 buah)

Minggu, 05 September 2010

Jadi Bagian Sejarah

Ketika saya mengikuti suatu seminar, pembicara seminar tersebut mengatakan bahwa sejarah merupakan salah satu guru paling besar dalam hidup. Selain itu, beliau mengatakan bahwa kita pun harus belajar dari orang-orang besar atau yang berpengaruh pada sejarah. Seketika itu saya sadar betapa pentingnya sejarah dan betapa luar biasa orang-orang yang pernah berpengaruh di dalamnya.

Sejarah dapat diartikan sebagai sesuatu yang menceritakan kejadian-kejadian masa lalu tentang jatuh bangun seorang tokoh, masyarakat, dan peradaban. Belajar dari sejarah berarti kita mengamati kegagalan atau keberhasilan di masa lampau serta memetik hikmatnya untuk dibawa ke kehidupan saat ini. Tokoh yang berpengaruh dalam sejarah memberikan inspirasi bagi kita untuk mengikuti semangatnya, berpikir keritis, berani. Kita pun terinspirasi untuk tidak mengikuti jejak kejatuhannya. Lepas dari hal positif atau negatif tentang tokoh sejarah, setidaknya mereka telah memberikan warisan kehidupan bagi kita saat ini. Adakah kita pun berpikir untuk menjadi bagian dari sejarah dan memberi warisan bagi penerus di masa mendatang?

Suatu negara lahir dan berkembang dari sejarah. Segala yang pernah ada pada masa lampau akan menjadi pelajaran berharga bagi masa yang disebut ‘saat ini’. Tidak dosa kalau kita berpikir untuk menjadi bagian dari sejarah yang dapat memberi dampak positif bagi masa yang akan datang. Justru itu merupakan salah satu tugas kita sebagai Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial. Tugas manusia juga untuk selalu terlibat dalam usaha dalam mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati.

Sebagai generasi yang hidup pada masa ini, sadar atau tidak, kita pun akan menjadi bagian dari sejarah. Kita sedang menginjak waktu dan ikut berlari seiring perputaran jarum jam. Waktu bergerak linier, sampai kiamat datang ia tak akan berjalan mundur. Ingat, kita wajib berdampak positif bagi orang lain, karena kita satu-satunya makhluk yang diciptakan berakal dan berbudi. Kesempatan untuk menjadi dampak bagi bangsa selalu ada di hadapan kita. Kita bisa memberikan warisan kehidupan bagi generasi penerus. Bukan untuk mengabadikan nama kita sebagai tokoh yang dikenang sepanjang era, bukan kita yang penting. Tetapi apa yang telah kita perbuatlah yang berharga.

Pandu Bangsamu!

Kamis, 02 September 2010

Hal Positif dari Kenakalan Malaysia.

Lagi-lagi Malaysia menyinggung perasaan bangsa Indonesia. Awalnya, dikethui dari sebuah televisi swasta bahwa Malaysia bertindak arogan terhadap tiga petugas kelautan Indonesia. Tingkah menyebalkan negri Jiran itu bukan baru sekali-dua kali, namun sudah berkali-kali. Jika bangsa ini membuka buku catatan sejarah, bisa beberapa kali kita mendapatkan konflik antara dua negara ini (Ind-Mly). Dan sering kali (hampir selalu) yang memulainya adalah malaysia. Indonesia merasa dipermainkan, diijak-injak martabatnya, disepelekan.

Saya yang adalah anak Indonesia asli juga merasa geram dengan negara ini. Beberapa kali saya malah meneriakan “perang!” bagi Malaysia. Namun saya berpikir lagi. Begini, kita (rakyat Indonesia) marah karena dianggap sepele oleh tetangga kita itu. Kita tidak terima martabat kita diinjak-injak, dan kita tidak suka dipermainkan mereka. Tapi disela kemarahan kita yang meledak-ledak itu, pernahkan kita mengkoreksi diri?

Memang sudah setinggi apa harga diri kita hingga kita marah-marah pada bangsa lain yang mengolok-olok kita? Kita selalu ingin dihargai bangsa lain, tapi apakah kita sudah menghargai bangsa kita sendiri? Kalau kita tidak ingin diinjak negara lain, memangnya kita sudah cukup kuat untuk menahan mereka?

Kita demo menentang Malaysia, tidak tanggung-tanggung, kita sampai melempari kantor kedutaan besar Malaysia dengan kotoran. Kita menuduh Malaysia memperlakukan bangsa kita dengan seenaknya. Tapi kita lupa melihat kondisi yang memicu semua kejadian itu. Kalo kata abang Sergap: Ingat, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, tapi juga ada kesempatan! Sebenarnya kita sendiri yang memberi kesempatan pada negara lain untuk memperlakukan kita semena-mena. Dari segi keamanan di perbatasan: dibanding Malaysia, negara kita memang kurang serius menjaga pulau-pulau terluar. Bangsa kita pun lupa membangun pertahanan (baik dari segi politik, ekonomi, dan angkatan bersenjata) di daerah perbatasan. Kelemahan ini yang menjadi celah bagi negera lain untuk mengambil keuntungan dari bangsa kita.

Saya mau menceritakan pengalaman pribadi saya. Teman-temanku setanah air, sejak kecil saya suka sekali menonton tari-tarian daerah (bahkan saya juga belajar menarikannya). Saya suka nonton reog, kuda lumping, ondel-ondel. Saya bisa menari tarian dari jawa tengah, tari bali, jaipongan, tarian dari Kalimantan, bahkan saya pernah menjadi tim penari tarian khas Aceh untuk dibawa saat tampil di balai kota Bogor. Semua itu saya lakukan saat saya masih kecil, terakhir saya menikmati itu semua ketika kelas 6 SD. Beranjak dewasa saya meninggalkannya, malah cenderung lupa. Terlalu asik dengan hiburan baru saya: video game, komik, tarian modern, lagu-lagu R n B, music pop, festifal Band, dll. Saya jadi tidak suka tarian tradisional, karena terkesan kuno. Aneh, begitu saya dewasa saya tidak peduli dengan budaya-budaya negara kita. Hingga akhirnya terjadi keributan antara Indonesia dan Malaysia. Mereka kita tuduh telah mencuri pulau ambalat, rumah gadang, lagu rasa sayange, tarian reog ponogoro, tari bali, batik, dan entah apa lagi. Secara pribadi, apa yang dilakukan Malaysia membuat saya sadar atas ketidakperdulian saya terhadap asset budaya bangsa saya sendiri.

Coba kita ingat-ingat lagi, sebelum Malaysia heboh mengakui batik sebagai bagian kebudayaan mereka, apakah kita pernah bangga memakai batik untuk kegiatan sehari-hari? Saya ingat, batik hanya jadi baju resmi untuk acara-acara tertentu. Eh, sama baju sehari-hari ibu rumah tangga, alias daster! Dulu batik identik dengan orang tua, jadi yang pakai batik itu biasanya hanya orang-orang tua. Tapi ketika Malaysia berusaha mencurinya, bangsa ini baru berinisiatif menjadikan batik sebagai baju nasional. Ada hari batik bagi kantor-kantor, seragam batik di sekolah-sekolah, anak-anak muda juga mulai mengenakan baju batik tanpa ragu. Dari yang tadinya malu memakai batik, jadi mau memakainya. Bahkan batik terus dicari.

Itu hanya satu contoh dari kasus batik, sebenarnya kasus-kasus yang lain pun memiliki pola yang serupa. Kita jadi lebih memperhatikan kekayaan bangsa sendiri setelah bangsa lain (kita tuduh) mencurinya. Seharusnya sebelum bangsa lain lebih tau dan berniat mengambilnya, kita sebagai anak bangsa lebih mengenal budaya kita dan terus melestarikannya (minimal menjaganya untuk tetap ada). Tapi yang terjadi di negeri ini sebaliknya, kita sibuk dengan budaya bangsa lain sampai budaya sendiri kita lupa!

Saya pikir, selain kita mencaci-maki, dan melakukan demo-demo mengecam Malaysia, kita juga harus bertrimakasih pada tetangga kita itu. Kita jadi lebih perduli kekayaan seni dan budaya bangsa ini, dan jiwa nasionalis pada generasi muda bangsa ini mulai tumbuh. Kebiasaan kita, generasi muda bangsa Indonesia: tidak akan bergerak jika tidak ada yang membakar emosi. Stop hidup terlalu santai… kita sudah cukup mendapatkan pelajaran dari kejadian-kejadian masa lalu, karena terlalu santai kita jadi kecolongan.

Memfasilitasi atau Difasilitasi Rakyat?

Negara saya lagi heboh (emang kapan pernah gak heboh?), ada masalah “tingkah” Malaysia yang sedang jadi bahan perbincangan sejagad Indonesia. Ada juga heboh isu pembangunan gedung DPR yang mewah, luas, lengkap dengan fasilitas hiburan—biar bisa santai sebentar kalau lagi stress didemo masyarakat—dan olah raga.

Kali ini saya akan lebih fokus pada masalah pembangunan “Istana DPR”. Pagi tadi saya mendengar kalimat yang menarik dari salah satu anggota DPR yang mendukung rencana pembangunan ini. Beliau bilang bahwa fasilitas yang mereka dapatkan akan mempengaruhi produktifitas mereka. Yay! Kalau begitu apa bedanya wakil-wakil rakyat itu dengan bocah sekolahan yang selalu diiming-imingi hadiah jika mereka berhasil naik kelas?

Sebelumnya, saya punya sedikit cerita. Satu minggu lalu saya menjadi panitia sebuah acara di kampus, saya dipercayakan di bagian multimedia dan tanggung jawab saya adalah membuat beberapa video. Salah satu tema video yang ditugaskan adalah perjuangan. Saya den rekan saya merancang sekenario untuk video tersebut. Kami memberi gambaran bahwa para pemuda bangsa Indonesia (pahlawan) pada masa itu berjuang, tekun, rela berkorban demi kemerdekaan bangsanya. Yang kami ceritakan di situ adalah pemuda-pemuda yang berkumpul, bersama-sama meluangkan waktu, tenanga, meteri, bahkan nyawa mereka untuk menebus kehormatan bangsa. Hingga akhirnya proklamasi kemerdekaan dikumandangkan dan Indonesia merdeka! Setelah itu muncul gambaran tentang pembangunan bangsa yang melejit, pesat pasca kemerdekaan. Tujuan video ini adalah mendorong orang yang melihatnya agar memiliki semangat juang seperti pemuda-pemuda tersebut walau ditengah kondisi yang minim fasilitas. Tidak membiasakan diri dengan kepraktisan, dan membuat diri kita dimanjakan kemudahan. Saya, sebagai panitia saja terharu melihat video itu dan berkaca pada sekenario yang saya buat.

Sekarang, setelah acara itu berlalu, makna video itu masih tetap membekas dalam pikiran. Saya kira video itu tidak hanya cocok dengan mahasiswa, namun juga cocok dijadikan teguran bagi para anggota DPR negri ini. Saya ibaratkan para anggota DPR itu adalah pemuda-pemuda (pahlawan) bangsa. Tapi sebenarnya, anggota DPR itu memang (seharusnya) pahlawan negri ini. Pemuda jaman dulu berjuang melawan penjajah dari negara lain. Saat ini pemuda bangsa juga harus tetap berjuang untuk membangun dan mempertahankan kehormatan bangsa kita. Modal dasar kita sama: waktu, ilmu, materi, dan tentunya rasa cinta terhadap tanah air. Namun sayangnya semangat pemuda saat ini sudah pudar, jiwa rela berkorban untuk bangsa tak begitu berkobar, bahkan empati terhadap permasalahan negara sangat kurang. Buktinya sudah nyata: rencana pembangunan “Istana DPR” yang akan menghabiskan dana sekitar 1,6 triliun dengan rincian bangunan yang sudah saya singgung sebelumnya. Di tengah kondisi bangsa Indonesia yang tidak berkecukupan, mengapa wakil rakyatnya malah memuaskan kebutuhan mereka sendiri.

Mengenai bangunan yang akan dibuat itu, beberapa anggota DPR beranggapan bahwa kinerja mereka akan lebih maksimal jika mereka ada di ruangan kerja yang dapat mengakomoir pekerjaan mereka. Mereka butuh kenyamanan untuk bekerja lebih baik. Butuh sarana ini, butuh ketersediaan itu, dan lain sebagainya. Sudah terlalu banyak tuntutan keluar dari mulut mereka. Padahal beberapa fasilitas yang mereka inginkan sudah dipenuhi negara. Tapi hingga kini kinerja yang mereka perlihatkan begitu-begitu saja, peningkatan yang terjadi tidak begitu signifikan.

Berkaca pada para pemuda yang rela berjuang ditengah fasilitas yang minim(bahkan nyaris tidak ada), seharusnya para petinggi itu malu. Pahlawan kita tidak menuntut kenyamanan mereka terlebihdahulu, bagi mereka Indonesia adalah segalanya. Demi Indonesia, mereka mau mengumpulkan semua yang mereka punya. Kontras sekali dengan pemuda saat ini, khususnya anggota DPR RI. Mungkin perinsip mereka seperti ini: berikan apa yang kalian punya, maka kami baru akan bekerka. Semain banyak, kerja kami akan semakin baik. Kalau begini keadaannya, jadi sebenarnya apa fungsi wakil rakyat? Memfasilitasi masyarakatnya atau difasilitasi masyarakatnya?